Setiap Kesulitan Terkandung Pahala
Lelaki ini terus melangkah meski dahaga menyiksanya sepanjang perjalanan, hingga ia menemukan sebuah sumur, lalu turun dan meminum air di dalamnya. Air yang mengaliri kerongkongnya cukup untuk menyembuhkan rasa haus itu. Lidahnya kembali basah, tenaganya sedikit bertambah.
Saat keluar dari lubang laki-laki ini terperanjat. Di hadapan matanya sedang berdiri seekor anjing dengan muka memelas. Napasnya kempas-kempis. Lidahnya menjulur-julur. “Anjing ini pasti mengalami dahaga sangat seperti yang telah aku derita,” kata si lelaki.
Laki-laki tersebut seperti menyadari bahwa meski haus, anjing sekarat itu tak mugkin turun ke dalam sumur karena tindakan ini bisa malah mencelakakanya. Seketika ia turun kembali ke dalam sumur. Sepatunya ia penuhi dengan air, dan naik lagi dengan beban dan tingkat kesulitan yang bertambah. Si lelaki bahagia bisa berbagi air dengan anjing.
Apa yang selanjutnya terjadi pada lelaki itu?
Rasulullah berkata, “Allah berterima kasih kepadanya, mengampuni dosa-dosanya, lantas memasukkannya ke surga.” Para sahabat bertanya, “Wahai, Rasulullah! Apakah dalam diri binatang-binatang terkandung pahala-pahala kita?”
“Dalam setiap kesulitan mencari air terkandung pahala,” sahut Nabi.
Kisah di atas mengingatkan kita pada keharusan bersifat welas asih kepada sesama makhluk, termasuk binatang. Tapi, bukankah anjing adalah binatang haram? Bukankah keringat dan air liurnya termasuk najis tingkat tinggi dan karenanya harus dijauhi?
Cerita tersebut Rasulullah justru menyadarkan kita bahwa status haram dan najis tak otomatis berbanding lurus dengan anjuran membenci, melaknat, dan menghinakan. Bukankah Rasulullah pernah berujar, “Irhamû man fil ardl yarhamkum man fis samâ’ (sayangilah yang di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu.”
Baca Selengkapnya ....